Oleh: Hasanul Rizqa
Puluhan tahun lamanya, Israel merampas tanah Palestina. Penjajahan yang dilakukan entitas zionis tersebut berlangsung (seolah-olah) tanpa dunia berdaya menyudahinya. Bahkan, genosida yang dialami rakyat Palestina di Jalur Gaza belum juga berhenti sampai sekarang.
Sebagai negeri tempat Baitul Makdis berada, Palestina di sepanjang histori mengalami dinamika kekuasaan. Ia mulai menjadi bagian dari daulah Islam sejak khalifah Umar bin Khattab membebaskannya dari kendali Romawi Timur (Bizantium) pada tahun 638 M. Ratusan tahun kemudian, Bumi al-Quds direbut Tentara Salib pada 1099 M.
Sejarah mencatat, menjelang akhir abad ke-11 M bukan hanya Salibis yang mengancam keutuhan umat Islam secara global. Di Andalusia (Spanyol), kaum Muslimin yang sebelumnya bersatu di bawah bendera Kekhalifahan Kordoba—trah Bani Umayyah—kini tercerai berai menjadi banyak negara kecil (taifa). Keadaan yang terjadi di belahan timur tidak lebih baik daripada belahan barat dunia Islam tersebut.
Bani Seljuk, yang sejak pertengahan abad ke-11 M berhasil mengembalikan kontrol Sunni atas Kekhalifahan Abbasiyah, kini ditinggalkan dua pemimpin besarnya: Malik Shah bin Alp Arselan dan sang wazir, Nizham al-Mulk. Keduanya wafat pada 1092. Bani Fathimiyah, sebagai representasi kendali Syiah atas Mesir dan sebagian Syam, juga mengalami kemunduran dengan wafatnya al-Mustanshir pada 1094 M. Sejak saat itu, para elite politiknya saling berebut kekuasaan sehingga Fathimiyah tidak berdaya kala Salibis menyerang pada 1099 M.
Dalam situasi demikian, dunia menyaksikan pula lahirnya sebuah dinasti Muslim baru yang bernama Zengi atau Zankiyah. Kelahirannya tidak terlepas dari senja kala Bani Seljuk ketika dipimpin Malik Shah. Sewaktu menjabat, raja Seljuk ini memiliki seorang jenderal yang setia bernama Aq Sunqur bin Abdullah.
Dalam sebuah misi, Aq Sunqur sukses membebaskan Halab (Aleppo) dari tangan Bani Uqail. Malik Shah kemudian mengangkatnya sebagai gubernur kota tersebut.
Prof Ali Muhammad ash-Shallabi dalam buku Bangkit dan Runtuhnya Daulah Zankiyah (2007) menjelaskan, Aq Sunqur sangat setia kepada Malik Shah. Sesudah sang raja dan juga wazirnya, Nizham al-Mulk, meninggal pada 1092, maka Aq Sunqur menyaksikan perebutan kekuasaan terjadi di kalangan anak-anak Malik Shah.
Sementara itu, ada seorang saudara kandung Malik Shah, Abu Said Taj ad-Daulah Tutush, yang juga berambisi menjadi penguasa. Pada awalnya, ad-Daulah Tutush berkoalisi dengan Aq Sunqur. Mereka bekerja sama untuk menghadapi pasukan yang dipimpin Barkyaruq, seorang putra Malik Shah, di Irak.
Pada akhirnya, Aq Sunqur berbelot sehingga memihak pada Barkyaruq. Menurut ash-Shallabi, keputusan gubernur Aleppo itu didasari anggapan bahwa trah Bani Seljuk hanya boleh diwariskan kepada anak keturunan Malik Shah, bukan saudara almarhum. Dalam sebuah pertempuran pada 1093 M, pasukan Daulah Tutush berhasil dipukul mundur.
Setahun kemudian, Tutush mengepung Aleppo. Aq Sunqur dapat ditangkap dan lalu dihukum mati. Riwayat lain menyebutkan, ia dibunuh kelompok Hasyasyin (Assassins) saat sedang shalat di Masjid Mosul, Irak, pada 1094.
Beberapa bulan kemudian, kali ini nasib buruk menimpa Tutush. Musuh Aq Sunqur ini tewas dalam sebuah pertempuran di Ray (Iran). Sejak saat itu, Barkyaruq menjadi satu-satunya keturunan Malik Shah yang terkuat, baik secara militer maupun politik. Ia lalu mengangkat seorang putra Aq Sunqur, yakni Imaduddin Zanki, untuk mengisi jabatan penting di istana.
Pelopor dinasti baru
Imaduddin Zanki baru berusia 10 tahun ketika ayahnya wafat. Saat dewasa, ia pernah merasakan berbagai posisi strategis di pemerintahan Seljuk. Salah satunya adalah jabatan sebagai gubernur Mosul sejak 1127 M.
Ash-Shallabi menggambarkan Imaduddin Zanki sebagai sosok yang sangat berwibawa. Kepribadiannya begitu karismatik sehingga seluruh pasukan di Mosul benar-benar tunduk kepadanya. Sebagai komandan militer, dirinya juga pemberani serta cerdas. Itu ditandai dengan kemampuannya dalam meracik strategi yang jitu.
Imaduddin berambisi menyatukan seluruh wilayah Muslim, mulai dari Irak hingga Syam. Untuk mewujudkan impian itu, ia pun menggerakkan pasukannya dari Mosul ke Aleppo.
Sejak berhasil mengendalikan Aleppo, Imaduddin Zanki semakin mengintervensi situasi dan kondisi politik yang berkembang di wilayah kekuasaannya. Kali ini, tujuan utamanya ialah menyatukan umat Islam agar siap menghadapi pihak penjajah Bumi al-Qurds, yakni Pasukan Salib.
Masih terekam jelas dalam benak Imaduddin Zanki tentang kekejian Salibis saat merebut Baitul Makdis pada 1099 M. Orang-orang Kristen-Eropa itu membantai seluruh penduduk kota suci tersebut. Jumlah korban diperkirakan mencapai 60 ribu jiwa.
Sementara Baitul Makdis jatuh ke tangan musuh, umat Islam di Syam tercerai-berai. Hampir di setiap kota terdapat pemerintahan yang independen. Menghadapi realitas itu, Imaduddin bertekad merintis persatuan Muslimin.
Satu tahun menjelang kematiannya, ia masih terus berupaya menaklukkan Damaskus. Pada 1146, dirinya wafat akibat dibunuh seorang tawanan perang yang berkebangsaan Frank (Prancis).
Hingga wafatnya, Imaduddin telah melapangkan jalan bagi berdirinya kesatuan Muslimin di Bumi Syam. Pada akhirnya, sejarah mencatat, anak keturunannya melanjutkan perjuangan untuk menghalau Pasukan Salib dari Tanah Suci. Mereka itulah yang kemudian membentuk Dinasti Zankiyah.
‘Cahaya agama’
Imaduddin Zanki memiliki dua orang putra, yakni si sulung Syaifuddin Ghazi dan si bungsu, Nuruddin Mahmud. Setelah Imaduddin mangkat, keduanya membagi wilayah kekuasaan yang ditinggalkan sang ayah. Sebelah timur yang berpusat di Mosul dikendalikan sang kakak. Adapun sang adik menguasai Syam, dengan Aleppo sebagai ibu kota.
Begitu kekuasaan berada di tangannya, Nuruddin Mahmud—namanya berarti ‘cahaya agama’—langsung menyusun kekuatan untuk menyerang sejumlah kerajaan yang dibentuk Pasukan Salib di Syam. Pemimpin Muslim itu berhasil merebut Antiokhia pada pertengahan abad ke-12.
Ia dan pasukannya juga mengambil beberapa benteng Salibis di bagian utara Syam. Balatentara yang dipimpinnya juga berhasil mematahkan serangan Joscelin II yang berupaya mencaplok Edessa, salah satu wilayah kekuasaan Zankiyah.
Nuruddin mengusir seluruh rakyat Kristen dari Edessa. Sebab, mereka terbukti membantu tentara Jocelin II saat melawan pasukan Muslim. Pada 1147, Nuruddin menandatangani perjanjian temporal dengan gubernur Damaskus, Mu’inuddin Unur.
Dengan begitu, konsolidasi dengan negeri-negeri Muslim di utara dapat kukuh. Sebagai bagian dari kerja sama, ia menikahi putri sang gubernur. Setelah Aleppo dan Damaskus membangun aliansi, penyerangan atas Bosra dan Sarkhand pun dapat dilancarkan.
Kedua kota tersebut direbut oleh pengikut Mu’inuddin yang memberontak. Lantaran gagal merebut Edessa pada Perang Salib I, kerajaan-kerajaan Kristen dari Eropa mulai melancarkan misi Perang Salib II. Raja Prancis Louis VII dan raja Jerman Conrad III memantik meletusnya palagan tersebut.
Akan tetapi, upaya Salibis untuk melawan pasukan Islam tak berjalan mulus. Mereka dihadapkan pada kekuatan militer tangguh yang dipimpin Nuruddin. Ambisi Louis VII dan Conrad III pun tak kesampaian. Damaskus tak dapat ditembus keduanya.
Kegagalan dua raja Kristen itu dimanfaatkan dengan baik oleh Nuruddin. Pada 1149, penguasa Muslim berdarah Turki itu pun menggerakkan pasukannya untuk mengambil alih Antikhia sekali dan untuk selamanya. Pangeran Antiokhia, Raymond Poitiers, tak kuasa membendung semangat juang Muslimin. Bahkan, putra raja William IX itu tewas dalam perang tersebut.
Kini, “hanya” tinggal Damaskus yang belum dikuasai Nuruddin di Syam. Mu’inuddin, sang penguasa kota tersebut, cepat-cepat beraliansi dengan kerajaan-kerajaan Kristen yang tersisa. Dua kali pemimpin Zankiyah itu berusaha pada 1150 dan 1151, hasilnya tidak banyak berubah.
Barulah kira-kira tiga tahun kemudian, Damaksus dapat dikuasai. Maka sejak 1154, mayoritas Syam berada dalam genggaman Nuruddin.
Beberapa tahun kemudian, Syaifuddin Ghazi wafat di Mosul dan digantikan oleh Qutbuddin. Lantas, Qutbuddin menyerahkan kekuasaannya kepada Nuruddin Mahmud. Alhasil, kendali Nuruddin kini meliputi wilayah luas yang membentang antara pesisir Mediterania Timur dan Irak.
Mengutamakan persatuan
Begitu menjadi raja atas seluruh wilayah Dinasti Zankiyah, Nuruddin Mahmud langsung menerapkan berbagai strategi dalam menyusun kekuatan Muslimin. Ia pertama-tama berfokus pada persatuan umat. Sebab, masalah penting saat itu bukanlah sedikitnya orang Islam dibandingkan Tentara Salib. Kemenangan musuh, di satu sisi, menandakan bahwa jumlah yang banyak tidak akan berarti tanpa diorganisasi secara matang.
Nuruddin juga meyakini bahwa aspek mental tidak kurang pentingnya. Kaum Muslimin perlu ditempa wataknya agar tangguh dan berani. Ia tidak ingin mereka terjangkit penyakit-hati yang sudah diperingatkan Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadis, yakni wahn—cinta dunia dan takut mati.
Karena itu, pemimpin berkebangsaan Turki itu mencurahkan perhatian yang begitu besar pada dunia pendidikan. Prof Ali Muhammad ash-Shallabi dalam Bangkit dan Runtuhnya Daulah Zankiyah (2007) mengatakan, umara yang bijaksana itu mendirikan banyak lembaga pendidikan Islam di sekujur wilayah kekuasaannya. Di samping itu, lanjut sejarawan tersebut, sang raja Zankiyah juga membangun pelbagai infrastruktur publik lainnya, semisal jalan raya, penginapan gratis untuk musafir haji, saluran irigasi, serta pasar-pasar.
Nuruddin mewakafkan banyak lahan miliknya pribadi untuk kepentingan umat. Di antara tanah-tanah yang diwakafkannya, ada yang menjadi taman-taman, masjid-masjid raya, dan tentunya madrasah-madrasah. Semua itu dimaksudkannya sebagai ladang amal jariyah demi meraih ridha Allah SWT.
“Nuruddin Mahmud benar-benar menyadari bahwa di antara faktor-faktor pendukung kebangkitan umat adalah kepemimpinan rabbani (yang mendekatkan diri kepada Allah),” tulis ash-Shallabi.
Tidak mungkin mewujudkan negeri yang baik (baldatun thayyibatun), yang diliputi rahmat dari Tuhan Yang Mahapengampun (wa Rabbun Ghafuur), tanpa melibatkan alim ulama. Bahkan, umara-lah yang dibimbing ulama. Bukan sebaliknya.
Menurut ash-Shallabi, aktivitas pendidikan dan keilmuan pada masa Nuruddin bukan sekadar hasil dari lembaga-lembaga yang dibentuk pemerintah. Sebab, kaum cendekiawan kala itu juga memiliki rancang-bangun besar (grand design) yang bertujuan luhur.
Kaum intelektual yang peduli pada upaya kebangkitan Islam hendak menguatkan jiwa tauhid pada diri kolektif generasi Muslimin. Hal itu melalui pendidikan secara berkelanjutan. Mereka bermaksud mencetak generasi yang tidak sekadar alim dunia, tetapi ukhrawi-duniawi sekaligus.
Menurut ash-Shallabi, Nuruddin Mahmud pada dasarnya merupakan seorang ulama sebelum menjadi seorang pemimpin pemerintahan. Putra Imaduddin Zanki itu selalu haus akan ilmu pengetahuan sehingga menyukai diskusi-diskusi keilmuan. Ia juga berupaya memetik keteladanan dari para pendahulunya yang saleh.
“Para ulama dalam pandangan Nuruddin Mahmud menempati kedudukan yang mulia dan agung. Ia mengundang mereka dalam forum-forum yang diselenggarakannya, menghormati dan bersikap rendah hati di hadapan mereka,” kata ash-Shallabi.
Reputasi Dinasti Zankiyah pun menyebar luas hingga ke kota-kota besar dunia Islam, semisal Baghdad, Nishapur, dan Ray. Banyak alim ulama yang kemudian memutuskan bermigrasi ke Syam, utamanya Aleppo dan Damaskus. Bahkan, tidak sedikit akademisi dan lulusan universitas-universitas Nizhamiyah yang turut hijrah. Mereka ingin berkontribusi pada upaya kebangkitan Islam di bawah bendera Bani Zankiyah.
Fenomena itu sangat menakjubkan. Sebab, Syam sejak jatuhnya Dinasti Umayyah pada pertengahan abad kedelapan Masehi cenderung sepi dari aktivitas-aktivitas ilmiah. Sinarnya kalah terang dibandingkan Irak dan Persia pada era Abbasiyah awal, khususnya dengan Bait al-Hikmah di Baghdad yang memesona. Pamor Syam sebagai tempat bermukimnya kaum cerdik cendekia juga kalah tenar dari Andalusia kala itu.
Namun, Wangsa Zankiyah mampu mengubah keadaan tersebut. Syam kembali menjadi pusat intelektual Islam yang terang benderang. Madrasah-madrasah bertumbuhan di mana-mana di seluruh negeri tersebut. Di sanalah titik-titik temu para ulama, pakar fikih, sufi, cendekiawan, dan saintis dari pelbagai wilayah.
Ash-Shallabi menyebutkan beberapa alim yang berpindah ke Syam. Misalnya ialah Imaduddin Abu al-Fath (guru besar sufi), Abu al-Fath bin Abul Hasan al-Faqih (seorang guru besar Nizhamiyah), Hasan bin ash-Shafi (pakar gramatika Arab yang dijuluki “raja nahwu”), serta Quthbuddin Mas’ud an-Nisaburi (ahli fikih mazhab Syafii). Tentunya, tidak sedikit ahli ilmu yang berasal dari dalam negeri Syam, semisal pakar hadis yang juga penulis Tarikh Dimashiq, Ibnu Asakir.
Yang juga istimewa dari sosok Nuruddin Mahmud ialah sikapnya yang toleran. Ia menghindari fanatisme terhadap mazhab-mazhab tertentu dalam ahlus sunnah waljama’ah (Sunni). Dalam fikih, dirinya berhaluan Hambali. Namun, tidak pernah penguasa Syam itu menutup pintu bagi para pembelajar dan dai dari aliran fikih-Sunni manapun.
Selain itu, pemimpin yang rutin mendirikan shalat tahajud itu juga mengagumi metode reformasi (islah) yang digagas Imam al-Ghazali (1058-1111 M). Gerakan Islah sang Hujjatul Islam kemudian digiatkan lagi oleh Syekh Abdul Qadir al-Jailani (1077-1166 M) melalui madrasah-madrasah Qadiriyah yang didirikan oleh dirinya serta para pengikutnya di Irak.
Berkolaborasi
Dr Majid Irsan al-Kilani dalam bukunya, Hakadza Zhahara Jil Shalahuddin wa Hakadza ‘Aadatil Quds (1985), memaparkan kolaborasi antara Nuruddin Mahmud dan para alumnus madrasah Qadiriyah. Sang raja Zankiyah menerima dengan penuh sukacita dan penghormatan para tokoh yang pernah menimba ilmu dari Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Sebut saja, Syekh Musa. Salah seorang putra waliyullah itu memimpin migrasi sejumlah alumni Qadiriyah ke Syam. Bahkan, Musa terus mengajar di Damaskus hingga wafatnya pada 1209 M.
Demi mendukung pola-pola pendidikan para alumnus Qadiriyah, Nuruddin membangun sebuah madrasah besar di Harran—dekat perbatasan Suriah-Republik Turki kini. Pengelolaan lembaga itu diserahkan sepenuhnya kepada Asad bin al-Manja bin Barakat, seorang murid Syekh Abdul Qadir. Secara estafet, anak keturunan Ibnu al-Manja meneruskan posisinya sebagai pengajar di institusi tersebut. Penguasa Zankiyah itu juga bersahabat dengan seorang santri Sulthan al-Awliya, yakni Hamid bin Mahmud. Baginya, sebuah madrasah juga didirikan untuk dipimpin sang alim.
Tidak semua pegiat madrasah Qadiriyah pindah ke Syam. Lagipula, gerakan Islah tidak hanya berpusat pada aktivitas jaringan lembaga tersebut. Ada cukup banyak madrasah yang mengambil inspirasi dan sejalan dengan Islah ala al-Ghazali dan Syekh Abdul Qadir. Tidak sedikit pula di antara mereka yang berperan mendukung Zankiyah—dan kemudian Ayyubiyah, dinasti yang pada akhirnya mengusir Salibis dari Baitul Makdis pada 1187 M.
Pemerintahan Zankiyah di Syam tetap berhubungan baik dengan madrasah-madrasah Qadiriyah di pusat Kekhalifahan Abbasiyah, yakni Baghdad dan sekitarnya. Lebih dari itu, Nuruddin pun menyokong persebaran madrasah-madrasah Sunni di wilayah perdesaan. Ash-Shallabi mengatakan, ada sejumlah madrasah yang turut mendukung kejayaan dinasti tersebut.
Misalnya, madrasah al-Adawiyah yang didirikan oleh Syekh Adi bin Musafir. Mursyid itu pernah dipuji Syekh Abdul Qadir, “Jika kenabian dapat diraih dengan kesungguhan ibadah, maka Syekh Adi bin Musafir akan meraihnya.” Syekh Adi hidup di tengah suku Kurdi Hakar. Bahkan, masyarakat setempat mendirikan madrasah khusus sebagai tempatnya mengajar.
Dakwah yang dilakukannya menimbulkan keamanan. Pasalnya, begitu banyak perampok atau penjahat dari suku Kurdi yang bertobat setelah mendengar petuah Syekh Adi bin Musafir yang menyentuh hati. Mereka menjadi orang yang hanya takut kepada Allah dan mengharapkan ridha-Nya. Banyak di antaranya yang di kemudian hari menjadi bagian dari tentara Shalahuddin al-Ayyubi.
Madrasah berikutnya ialah yang didirikan Syekh Abu Madyan Syuaib bin Husain al-Andalusi. Mursyid tersebut hidup di wilayah Sevilla, Andalusia. Ahli fikih mazhab Maliki itu mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya di Maghribi (Maroko), mengajarkan ilmu dan hikmah, serta berlaku zuhud hingga akhir hayatnya.
Masih banyak madrasah lain yang dicatat baik oleh ash-Shallabi maupun al-Kilani. Misalnya, madrasah Rislan al-Ja’bari, madrasah Uqail al-Manihi, madrasah Syekh Ali bin al-Haiti, serta madrasah Syekh Baqa bin Bathu.
Buah kaderisasi
Nuruddin Mahmud wafat dalam usia 56 tahun akibat sakit. Putranya yang masih berusia 11 tahun, as-Shalih Ismail al-Malik, kemudian menjadi penerusnya.
Di satu sisi, pergantian kepemimpinan ini dapat dibaca sebagai senja kala Dinasti Zankiyah. Sebab, lambat laun Shalahuddin Yusuf bin Ayyub alias Shalahuddin al-Ayyubi menjadi penguasa Muslim terkemuka yang mampu menyatukan Mesir dan Syam.
Di sisi lain, sosok yang disebut bangsa-bangsa Eropa sebagai Saladin itu pada faktanya meneruskan spirit Nuruddin dalam berjihad membebaskan Baitul Makdis dari tangan Salibis. Terlebih lagi, pendiri Dinasti Ayyubiyah itu sejak kecil ditempa oleh alim ulama yang alumni madrasah Qadiriyah.
Shalahuddin adalah putra Najamuddin Ayyub bin Syadzi, seorang panglima suku Kurdi Rawadiyah. Banyak Muslimin dari suku bangsa tersebut yang belajar pada madrasah-madrasah al-Adawiyah. Begitu tumbuh mendewasa, mereka turut dalam kancah pertempuran melawan Salibis, baik pada masa Zankiyah maupun—terutama—Ayyubiyah.
Karena itu, pada era Saladin banyak ksatria Muslim yang merupakan hasil kaderisasi madrasah-madrasah zaman Nuruddin. Khususnya madrasah Qadiriyah, yang sejak awal membuka pintu bagi anak-anak pengungsi dari wilayah-wilayah jajahan Salibis.
Ash-Shallabi dalam Bangkit dan Runtuhnya Daulah Zankiyah (2007) menjelaskan, madrasah Qadiriyah mengkader para pemuda yang meninggalkan daerah-daerah yang diduduki Tentara Salib. Bahkan, pengelola madrasah—dengan dukungan finansial dari Zankiyah pula—menyediakan tempat tinggal dan perbekalan untuk mereka. Dengan begitu, anak-anak tersebut dapat memfokuskan perhatian pada belajar dan berlatih.
Ketika tiba saatnya, para murid itu begitu dewasa dan siap dikembalikan ke tempat-tempat perbatasan dengan musuh. Di antara mereka, ada yang menjadi prajurit atau bahkan jenderal-jenderal cerdas. Ada pula yang menjadi mubaligh, membimbing masyarakat.
Ash-Shallabi mengatakan, para alumni Qadiriyah itu dikenal dengan nama Generasi al-Maqadisah. Sebab, perjuangannya dikaitkan dengan pembebasan al-Quds atau Baitul Makdis.
Jelaslah bahwa generasi itu adalah alim yang mujahid sekaligus. Mereka tak sekadar berilmu, tetapi juga berdaya juang tinggi. Kemunculan mereka adalah buah dari kerja sama antara umara dan ulama, yang dicontohkan penguasa Bani Zankiyah dan kalangan cendekiawan yang setia padanya.